
Sekeping uang logam keemasan terjatuh dari saku seorang pria muda berpakaian jas lengkap, menggelinding pelan melewati kaki-kaki orang yang berlalu lalang di jalan itu, membentur kaki gerobak Hotdog kemudian berhenti tepat di depan sepasang kaki mungil tak beralas kaki yang kotor dan dekil tak jauh dari gerobak Hotdog itu. Sungguh kontras jika dibandingkan dengan berbagai pasang kaki yang berlalu lalang di jalan itu yang bersepatu dengan bermacam warna dan berkilau jika terkena pantulan sinar matahari, atau beberapa sepatu dengan hak tinggi. "Pak! Tunggu! Koin anda terjatuh," ujar pemilik kaki. Oh, ternyata pemiliknya adalah seorang bocah yang kalau dilihat dari wajah dan penampilannya sih mungkin berumur sekitar 5-6 tahun. Bocah ini memungut koin itu dan melangkah cepat mendekati pria muda tersebut. Pria muda itu menoleh, menatap seorang bocah kecil berpakaian lusuh tanpa alas kaki berdiri di hadapannya. Sorot matanya sayu dan bibirnya menyunggingkan senyum halus kepadanya. "Maaf?" "Koin ini milik Bapak. Tadi aku melihatnya terjatuh dari saku Bapak," papar bocah itu, berusaha terdengar sopan. Pria ini perlahan mengalihkan pandangannya pada tangan kanan mungil yang sedari tadi terarah kepadanya, rupanya ada sekeping uang logam lima ratus rupiah di sana. "Oh, koin ini untukmu saja," ujar pria itu cuek. Siapa yang tahu bahwa ucapan tadi sanggup membuat sepasang bola mata berbinar dan sebuah bibir tersenyum lebar? "Wah, terimakasih pak!" seru bocah itu, tak mampu menyembunyikan kegembiraan di dalam kalimatnya. Pria muda itu kembali melanjutkan langkahnya diiringi oleh tatapan bahagia si bocah yang memandangi punggungnya bergerak menjauh hingga menghilang di tikungan jalan. "Terimakasih Tuhan," bisiknya pelan.
Sekeping uang logam lima ratus rupiah yang gak terlalu diperdulikan, bisa sangat berarti untuk seseorang. Begitu banyak anak-anak yang kurang beruntung, sejak lahir dalam begitu banyak tekanan hidup. Keadaan dimana mereka gak bisa mengenyam pendidikan karena keterbatasan ekonomi, sering banget merasa kelaparan, gak punya rumah, bahkan harus jadi tulang punggung bagi keluarganya. Begitu kontradiksi dengan kita, yang bisa dibilang serba berkecukupan namun sering kali gak bisa bersyukur.
Anak A: Mama nyebelin banget sih! Mau beli BB gak boleh!!
Anak B: Hari ini mama batuk darah lagi, tapi uangku belum cukup buat beli obat.
Anak A: AH! MAMA EGOIS BANGET SIH! TERUS AJA DUIT JAJAN GUA DIPOTONG!
Anak B: Hasil jualan koranku hari ini lumayan, makasih Tuhan.
Anak A: Nyokap gua bener-bener keterlaluan! Dikira gak bosen apa makan ayam mulu.
Anak B: Wah makasih Tuhan, dapet tempe gratis hari ini.
Anak B: Hari ini mama batuk darah lagi, tapi uangku belum cukup buat beli obat.
Anak A: AH! MAMA EGOIS BANGET SIH! TERUS AJA DUIT JAJAN GUA DIPOTONG!
Anak B: Hasil jualan koranku hari ini lumayan, makasih Tuhan.
Anak A: Nyokap gua bener-bener keterlaluan! Dikira gak bosen apa makan ayam mulu.
Anak B: Wah makasih Tuhan, dapet tempe gratis hari ini.
...Bukankah sering kali kita menjadi sosok anak A dalam situasi/konflik yang berbeda? Aku pun begitu. Aku dan kamu harus sama-sama banyak belajar dari sosok anak B.
0 komentar:
Posting Komentar